QAWAIDUL
KHAMS(Lima Qaidah Dasar Fiqhi)
Lima
kaidah kulliyah
Sebagian ulama
lelah mengembalikan segala kaidah
fighiyah kepada lima kaidah
yang mereka pandang sebagai dasar dan sendi segala hukum fiqh. ShalubulMajami
mengembalikan segala .kaidah fiqh kepada empat, selain
dari kadiah pertama yang akan kami uraikan .
Dalam pada itu, Sultanul
ulama IzzuddinIbnuAbdis Salam mengembalikan seluruh kaidah fiqhiyah kepada satu
kaidah saja yaitu :
اِعْــتِـبَـارُ
الْـمَـصَــالِـحِ وَدَرْءُ الْـمَـفَــاسِـدِ
Artinya :
Menarik
Kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Mengembalikan
segala hukum fiqh kepada lima kaidah pokok
kita terima secaraijmal, tetapi apabila kita
kehendaki secara tafshil.
rnaka hukum-hukum fiqh itu kembali kepada beratus-rgtus kaidah 1
Dalam kitab ini saya
kemukakan kaidah-kaicfeh yang pokok itu
saja yaitu : lima kaidah yang menjadi dasar bagi kaidah-kaldah yang lain.
A. Kaidah Pertama :
اَلأْمُــوْرُ
بِمــقَـاصِـدِهَــا
"Segala
urusan-urusan itu menurut maksud-maksud yang diniatkan oleh pembuatnya".
Segala amal manusia terbit
dari iradatnya, yakni dari ikhtiyarnya.iradat ituberhajat kepadapekerjaan untuk
sesuatu tujuan yang dimaksud,
yangdinamakan kasad atau niat. Maka makna kasad atau niat, ialah :
kehendakyang berhadap kepada
pekerjaan, atau menghadapkaniradat kepadasesuatu pekerjaan. Umpamanya, apabila seorang
membidikkanpistolnyakepada seseorang dengan maksud menembaknya dan
orang itupun kena,maka yang membidik itu berkehendak membidik
dan bermaksud supaya kena.
Martabat kasad,
terbagi lima :
a.
Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang mula-mula
tumbuh.
b.
Gurisan hati, yang menimbulkan maksud.
c.
Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang sama kuat antara mengerjakan
dan tidak.
d.
Gurisan hati, yang menguatkan maksud mengerjakan, dan
e.
Gurisan hati yang menetapkan serta mengokohkan hati untuk
mengerjakannya.
Martabat
yang lima ini dinamakan dengan : hajis - khatir -haditsunnafsi-
ham dan azam.
Hajis dan khathir tidak masuk dalam ikhtiar, karena itu tidakdisalahkanseseorang apabila timbul
hajis dan khathir dalam hatinya. Juga tidak disalahkan
kita apabila timbul haditsunnafsi, mengingat
yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, bahwa Nabi bersabda :
عُـفِيَ عَـنْ اُمَّـتِيْ مَـاحَـدَّثَـــتْ بِــــهِ
النُّـــفُوْسُـــهَـــا
Artinya :
"Dimaafkanummatku
tentang apa yang dibisikkan oleh jiwanya atau tentang gurisan-gurisan
jiwanya".
Juga ham tidak mengakibatkan
kesalahan, mengingat hadits:
اِنَّ
الْـهَــمَّ بِـــاالْـحَـسَـنَـهِ يُـكْــتَــبُ حَـسَــنَــهً وَالْـهَــمَّ
بِـاالسَّـيِــــئــــهِ لاَ يُـكْـتَـبُ سَـيِّــئــــــهً
Artinya :
Bahwasa/iya ingin
mengerjakan kebajikan ditulis suatu kebajikan, tetapi ingin mengerjakan
kejahatan tidak ditulis sebagai suatu kejahatan 3.
Demikianlah martabat
kasad mengenai maksiat.
Adapun mengenai
muamalah, tidak
mempunyai bekas apa-apa selama belum lagi dipraktekkan
ke alam sujud.
Perbuatan itu sendiri, hukumnya kembli kepada yang
dimaksudkan . Di dalam suatu hadits Nabi Saw, bersabda :
اِنَّــمَـاالأْعْــمَــالُ
بِــاالنِّــيَـــهِ وَاِنَّـــمَــا لِكُــلِّ أِمْــــرِئٍ مَــانَــوَى (روه
الْجَمَــاعَــةَ عَــنْ عُـمَـر)
Artinya :
Hanya
sanya segala amal itu menurut mat, dan hanyasanya bagi segala manusia apa yang
diniatkan ". (H.R. Ai. Al Jama'ah dari Umar).
Oleh
karena inilah segala perbuatan dipautkan dengan maksud.Maka kesimpuan makna kaidah yang tersebut
ini, ialah : "Segala hukummengenai sesuatu pekerjaan menurut yang
diniatkan dari pekerjaan itu".
Maka kesimpulan makna kaidah yangtersebut ini, ialah :
"Segala hukum mengenai sesuatu pekerjaan. acialah menurut yang diniatkan
dari pekerjaan itu ".
menurut niat,
jika mat itu mungkin diketahui. Karena itu apabila berlainan makna pembicaraan
dari lafadnya.Diambillahmakna bukan lafad. Atas dasar inilah timbul kaidah :
اَلْـعِـبْـرَةُ
فِى الْعُــقُــوْدِ لِلْــمَــقَــاصِــدِ وَالْــمَــعَـــانِى
لاَلِلأَلْــفَـــاظِ وَالْــمَـــعَـــانِى
Artinya :
"Yang
dipegangi dalam soai akad, lalah maksud dan makna, bukan lafad perkataan"..
Apabila dua
orang mengadakan suatu
akad dengan lafad
member!pinjaman, dengan mensyaratkan adanya upah maka akad itu
dipandangakad sewa menvewa,
karena itulah yang ditunjuki oleh makna, bukanakad pinjam meminjam yang
dikehendakilafad.,'
Demikianlah kita
lakukan apabila tidak bergantung dengan hak orang
lain.Apabila bergantung dengan hak orang lain, maka yang diamalkan dhahirlafad,
untuk menolak kesukaran bagi manusia.
Lantaran itu
apabila berbeda lafad dengan niat.orang yang melafadkan itudan bergantung lafad itu denganhakorang, dipegangilahlafad. Umpamanyabila penggugat meminta di hadapan hakim supaya lawannya
itu bersumpah, maka sumpah yang diucapkan oleh orang itu di dasarkan atas
lafadnya yang lahir.yaki hakim dan orang yang menuntut,sumpah. bukan atas niat
yang bersumpah. Mengingat
hadits Nabi pula :
اَلْـيَــمِـيْـنُ
عَلىَ نِـيَّــــةِ الْـمُــسْـتَــحْلِفِ (رواه مُسْلم)
"Sumpah
itu menurut niat orang yang menvuruh bersumpah" (H R Muslim)
Hanya perlu ditegaskan bahwa
kita berpegang kepada niat adalah jika niat itu dapat diketahui Jika terjadi
perbedaan antara niat dengan yang dhahir dan, sukar mengetahui apa yang
diniatkan, maka hendaklah dipegang yang dhahir. Hal ini telah ditegaskan oleh suatu hadits
yang diriwayatkan dengan makna :
نَحْـــنُ نَحْـكُــمُ بِاالظَّـاهِـــرِ وَاللَّــــهُ يَـتَـوَلَّى
السَّـــرَائــــِــرُ
Artinya :
"
Kamihukumkan menurut dhahir dan Allahlah yang mengendalikan segala rahasia
makhluk".
B. Kaidah Kedua
Kaidah
Kedua
اَلْمَشَـقَّــةُ
تَجْــــلِــبُ التَّـيْــسِيْـرَ
Artinya:
"Kesukaran itu,
mendatangkan kemudahan
Segala hukum syara'
adalah umum. Tidak melihat kepada
sesuatukeadaan atau kepada perseorangan.
Hukum - hukum itu melihat kepadasegala keadaan dan kepada segala anggota
masyarakat.
Akan tetapi, sifat hukum
yang demikian ini menimbulkan kesukaran padasewaktu atas
sebagian manusia dan menimbulkankemudharatan :
olehkarena itu, agama memberi kelapangan pada sewaktu, ketika perlu
untukmenolak kesukaran.
Allah SWT,
betfirman :
وَمَـا
جَـعَـلَ عَـلَـيْـكُـمْ فِى الدِّيْـنِ مِنْ خَــرَجٍ ( الحج )
Artinya :
“ Dan dia tidak menjadikan untuk
kamu kepicikian dalam agama” (Q.S.al-Hajj 78)
اَلدِّيْـــنُ يُــــسْـــرٌ
Artinya
:
Agama itu mudah (HR.Bukhari)
Dengan bersandar
kepada ayat dan hadits ini para ulama menetapkankaidah kuliyah yang tersebut
ini.
Dimaksudkan
dengan mudah ialah :"
memberikelapangan,
disebabkankesukaran sebagai pengecualian dari kaidah "umum".
Dan kesukaran di
sini meliputi keadaan yang mernaksa dan keadaan yangmemerlukan.
Ringkasnya, kaidah
ini bermakna, kesukaran
menjadi sebab bagimemudahkan, dan memberi keleluasaan di
waktu sempit.
Sesuai dengan
kaidah ini, ialah kaidah :
اَلأُمُـــوْرُ
اِذَا ضَاقَ اِتَّـــسَـعَ
Artinya :
Segala urusan, apabila telah sempi:.menjadi luas "
C. Kaidah Ketiga
Kaidah
ketiga
اَلضَّــرَارُ
يُــزَالُ
Artinya :
"Kemelaratan itu harus dihilangkan"
Dasar kaidah
ini, ialah hadits :
لاَضَرَرَ وَلاَضَرَارَ
Tak
boleh memelaratkan orang lain dan tak boleh dimudaratkan (H R ibnuMajah)
Kaidahadalah suatu kaidah
pokok. Kepadanya kembali sebagian besar masalah-masalah fiqh dan daripadanya
diistinbatkan berbagai -bagai
Diantaranya : tak sah
wakaf bagi anak-anak lelaki saja tanpa memberi kepada anak -anak perempuan dan
haram memberi wakaf jika dimaksud untuk
memelaratkan ( menghilangkan hak para pemberi hutang ( debitur). Dari
kaidah ini pula
para ulama mengambil hukumsyu'fah untuk para tetangga dan menetapkan hukum qishash.
Dipautkan dengan kaidah ini,.kaidah :
اَلضَّـــرُوْرَتَ
تُـبِـيْـحُ الْمَحْـظُوْرَاتُ
“Segala
keadaan yang memaksa menghalalkan segala yang haram”
Kata Al Ghazali
:
جَمِيْـعُ
الْمُحَـرَّمَـاتِ تُـبَـاحُ بِا الضَّـرُوْرَةِ
Artinya :
“Segala
yang diharamkan dibolehkan lantaran darurat “5
mengingat kaidah inilah diberi kemudahan
lantaran kesukaran dan umum bahwa Maka apabila seseorang yang berhutang tak
sanggup membayar hutang, bolehlah mengangsur. Hal ini sesuai pula dengan firman
Allah SWT
وَاِنْ كَانَ ذُوْ
عُسْـرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلَى مَيْـسَرَةٍ
Dan
jika ia mempunyai kesukaran, maka hendaklah ditangguhkan sehingga ia mendapat
kelapangan ". (S.2 : Al Baqarah :286j
Inilah sebabnya
dibolehkan kita minum arak apabila tidak ada obat lain untuk menghilangkan
sesuatu benda yang tersangkut dikerongkongan. Berdasar kepada kaidah
ini pula dibolehkan
kita melakukan beberapa muamalah lantaran diperlukan oleh
manusia dalam penghidupannya sehari-hari.
D. Kaidah Keempat
Kaidah
yang keempat.
اَلْيَـقِــيْـنُ لاَيُـزَالُ بِاالشَّـكِ
"Keyakinan
itu tidak dapat dihilangkan kekuatannya oleh syak yang mendatangi".
Kaidah ini didasarkan kepada
hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari
Muslim dan AbdttiiahJ.bn Zaid. ujarnya :
شُـكِيَ اِلَى رَسُـوْلِ
اللهِ صلى الله عَـليْه وسلّم الرَّجُـلُ يُحَيَّلُ اَنَّهُ يَجِدُ الشَّئَ فِى
الصَّلآَةِ قَالَ لاَيَنْـصَـرِفُ حَتَّى يَسْمَعُ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْـحًا
"Dikemukakan kepada
Rasuiullah tentang keadaan seorang lelaki yang selalu merasa telah berhadas
didalam sembayangnya.Nabi bersabda janganlah orang itu keluar dan sembahyangnya
hingga ia mendengar suara kentutnya atau menciumbaunya".
Kerapkali kaidah ini
dipergunakan ulama didalam berbagai bagai masalahfiqh.Hampir 314 -masalah fiqh
dirujuk kepada kaidah ini.
Semakna dengan
kaidah ini, kaidah-kaidah yang dikemukakan Al Qarafi
dalam A!-Furuq:
كُلُّ مَشْكُوْكٍ
فِيْهِ يَجْـعَـلُ كَا الْمـعْدُوْمِ الَّذِي يُجْزَمُ بِعَدَمِهِ
"Segata
yang diragukan diuandang sebagai barang yang tidak ada yang dipastikan
ketiadaannya "
E. Kaidah Kelima
Kaidah
yang kelima
اَلْعَـادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya :
Adat itu meniadi hakim
Kaidah
ini seimbang dengan kaidah :
اَلْمَعْرُوْفُ
عُرْفًا كَاالْمَسْـرُوْطِ شَرْعًا
Artinya :
"Sesuatu maruf yang
telah ditetapkan oleh
'urf sama dengan yang disyaratkan oleh syara".
Kaidah
ini telah banyak dipergunakan dalam menetapkan hukum. Dalam kitab RaddulMuhtar,
IbnuAbidlnberkata :
"Adat
adalah salah satu dari hujjah saya' dalam ha-hal yang tidak adanash."
Al
Qarafiberkata :
Bahwasanya
segala hukum itu berlaku menurut 'urf dan adat". Ahli fiqh hendaklah
berpindah dari suatu pendiriannya sesuai dengan perpindahan adat Di antara
kebodohan mufti ialah : bersikap jumud (beku) terhadap nash-nash yang terdapat
dalam kitab-kitabnya, tanpa memperdulikan perubahan adat".
'Urf
dan adat menjadi dasar hukum adalah apabila :
a.
Tidak berlawanan dengan sesuatu nash yang tegas.
b.
Apabila adat itu terus menerus dilakukan.
c.
Apabila 'urf itu umum.
Karenanya tak dapat hukum umum ditetapkan dengan 'urfkhusus.Perhatikannukum-hukum
yang didasarkan kepada 'urfyaitu :
1.
Hakim tak boleh menerima sesuatu hadiah terkecuali dari orang yang
telah biasa memberikan hadiah kepadanya dan tidak lebih dari hadiah yang biasa
diberikan.
2.
Menyuruh membuat sesuatu yang dibatasi harganya,
seperti dikatakan : buatlah sebuah meja, yang harganya Rp. 5.000,- serta
disifatkan mejaitu
Abu Hanifah membolehkan hal ini berdasarkan kepada 'urf padahal nash
tidak membolehkan menjual apa yang tidak dimiliki.
Masalah
'urf in iadalah masalah yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para ahli
hukum Islam
QAWAIDUL
KHAMS
Lima
kaidah kulliyah
Sebagian ulama
lelah mengembalikan segala kaidah
fighiyah kepada lima kaidah
yang mereka pandang sebagai dasar dan sendi segala hukum fiqh. ShalubulMajami
mengembalikan segala .kaidah fiqh kepada empat, selain
dari kadiah pertama yang akan kami uraikan .
Dalam pada itu, Sultanul
ulama IzzuddinIbnuAbdis Salam mengembalikan seluruh kaidah fiqhiyah kepada satu
kaidah saja yaitu :
اِعْــتِـبَـارُ
الْـمَـصَــالِـحِ وَدَرْءُ الْـمَـفَــاسِـدِ
Artinya :
Menarik
Kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Mengembalikan
segala hukum fiqh kepada lima kaidah pokok
kita terima secaraijmal, tetapi apabila kita
kehendaki secara tafshil.
rnaka hukum-hukum fiqh itu kembali kepada beratus-rgtus kaidah 1
Dalam kitab ini saya
kemukakan kaidah-kaicfeh yang pokok itu
saja yaitu : lima kaidah yang menjadi dasar bagi kaidah-kaldah yang lain.
A. Kaidah Pertama :
اَلأْمُــوْرُ
بِمــقَـاصِـدِهَــا
"Segala
urusan-urusan itu menurut maksud-maksud yang diniatkan oleh pembuatnya".
Segala amal manusia terbit
dari iradatnya, yakni dari ikhtiyarnya.iradat ituberhajat kepadapekerjaan untuk
sesuatu tujuan yang dimaksud,
yangdinamakan kasad atau niat. Maka makna kasad atau niat, ialah :
kehendakyang berhadap kepada
pekerjaan, atau menghadapkaniradat kepadasesuatu pekerjaan. Umpamanya, apabila seorang
membidikkanpistolnyakepada seseorang dengan maksud menembaknya dan
orang itupun kena,maka yang membidik itu berkehendak membidik
dan bermaksud supaya kena.
Martabat kasad,
terbagi lima :
a.
Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang mula-mula
tumbuh.
b.
Gurisan hati, yang menimbulkan maksud.
c.
Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang sama kuat antara mengerjakan
dan tidak.
d.
Gurisan hati, yang menguatkan maksud mengerjakan, dan
e.
Gurisan hati yang menetapkan serta mengokohkan hati untuk
mengerjakannya.
Martabat
yang lima ini dinamakan dengan : hajis - khatir -haditsunnafsi-
ham dan azam.
Hajis dan khathir tidak masuk dalam ikhtiar, karena itu tidakdisalahkanseseorang apabila timbul
hajis dan khathir dalam hatinya. Juga tidak disalahkan
kita apabila timbul haditsunnafsi, mengingat
yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, bahwa Nabi bersabda :
عُـفِيَ عَـنْ اُمَّـتِيْ مَـاحَـدَّثَـــتْ بِــــهِ
النُّـــفُوْسُـــهَـــا
Artinya :
"Dimaafkanummatku
tentang apa yang dibisikkan oleh jiwanya atau tentang gurisan-gurisan
jiwanya".
Juga ham tidak mengakibatkan
kesalahan, mengingat hadits:
اِنَّ
الْـهَــمَّ بِـــاالْـحَـسَـنَـهِ يُـكْــتَــبُ حَـسَــنَــهً وَالْـهَــمَّ
بِـاالسَّـيِــــئــــهِ لاَ يُـكْـتَـبُ سَـيِّــئــــــهً
Artinya :
Bahwasa/iya ingin
mengerjakan kebajikan ditulis suatu kebajikan, tetapi ingin mengerjakan
kejahatan tidak ditulis sebagai suatu kejahatan 3.
Demikianlah martabat
kasad mengenai maksiat.
Adapun mengenai
muamalah, tidak
mempunyai bekas apa-apa selama belum lagi dipraktekkan
ke alam sujud.
Perbuatan itu sendiri, hukumnya kembli kepada yang
dimaksudkan . Di dalam suatu hadits Nabi Saw, bersabda :
اِنَّــمَـاالأْعْــمَــالُ
بِــاالنِّــيَـــهِ وَاِنَّـــمَــا لِكُــلِّ أِمْــــرِئٍ مَــانَــوَى (روه
الْجَمَــاعَــةَ عَــنْ عُـمَـر)
Artinya :
Hanya
sanya segala amal itu menurut mat, dan hanyasanya bagi segala manusia apa yang
diniatkan ". (H.R. Ai. Al Jama'ah dari Umar).
Oleh
karena inilah segala perbuatan dipautkan dengan maksud.Maka kesimpuan makna kaidah yang tersebut
ini, ialah : "Segala hukummengenai sesuatu pekerjaan menurut yang
diniatkan dari pekerjaan itu".
Maka kesimpulan makna kaidah yangtersebut ini, ialah :
"Segala hukum mengenai sesuatu pekerjaan. acialah menurut yang diniatkan
dari pekerjaan itu ".
menurut niat,
jika mat itu mungkin diketahui. Karena itu apabila berlainan makna pembicaraan
dari lafadnya.Diambillahmakna bukan lafad. Atas dasar inilah timbul kaidah :
اَلْـعِـبْـرَةُ
فِى الْعُــقُــوْدِ لِلْــمَــقَــاصِــدِ وَالْــمَــعَـــانِى
لاَلِلأَلْــفَـــاظِ وَالْــمَـــعَـــانِى
Artinya :
"Yang
dipegangi dalam soai akad, lalah maksud dan makna, bukan lafad perkataan"..
Apabila dua
orang mengadakan suatu
akad dengan lafad
member!pinjaman, dengan mensyaratkan adanya upah maka akad itu
dipandangakad sewa menvewa,
karena itulah yang ditunjuki oleh makna, bukanakad pinjam meminjam yang
dikehendakilafad.,'
Demikianlah kita
lakukan apabila tidak bergantung dengan hak orang
lain.Apabila bergantung dengan hak orang lain, maka yang diamalkan dhahirlafad,
untuk menolak kesukaran bagi manusia.
Lantaran itu
apabila berbeda lafad dengan niat.orang yang melafadkan itudan bergantung lafad itu denganhakorang, dipegangilahlafad. Umpamanyabila penggugat meminta di hadapan hakim supaya lawannya
itu bersumpah, maka sumpah yang diucapkan oleh orang itu di dasarkan atas
lafadnya yang lahir.yaki hakim dan orang yang menuntut,sumpah. bukan atas niat
yang bersumpah. Mengingat
hadits Nabi pula :
اَلْـيَــمِـيْـنُ
عَلىَ نِـيَّــــةِ الْـمُــسْـتَــحْلِفِ (رواه مُسْلم)
"Sumpah
itu menurut niat orang yang menvuruh bersumpah" (H R Muslim)
Hanya perlu ditegaskan bahwa
kita berpegang kepada niat adalah jika niat itu dapat diketahui Jika terjadi
perbedaan antara niat dengan yang dhahir dan, sukar mengetahui apa yang
diniatkan, maka hendaklah dipegang yang dhahir. Hal ini telah ditegaskan oleh suatu hadits
yang diriwayatkan dengan makna :
نَحْـــنُ نَحْـكُــمُ بِاالظَّـاهِـــرِ وَاللَّــــهُ يَـتَـوَلَّى
السَّـــرَائــــِــرُ
Artinya :
"
Kamihukumkan menurut dhahir dan Allahlah yang mengendalikan segala rahasia
makhluk".
B. Kaidah Kedua
Kaidah
Kedua
اَلْمَشَـقَّــةُ
تَجْــــلِــبُ التَّـيْــسِيْـرَ
Artinya:
"Kesukaran itu,
mendatangkan kemudahan
Segala hukum syara'
adalah umum. Tidak melihat kepada
sesuatukeadaan atau kepada perseorangan.
Hukum - hukum itu melihat kepadasegala keadaan dan kepada segala anggota
masyarakat.
Akan tetapi, sifat hukum
yang demikian ini menimbulkan kesukaran padasewaktu atas
sebagian manusia dan menimbulkankemudharatan :
olehkarena itu, agama memberi kelapangan pada sewaktu, ketika perlu
untukmenolak kesukaran.
Allah SWT,
betfirman :
وَمَـا
جَـعَـلَ عَـلَـيْـكُـمْ فِى الدِّيْـنِ مِنْ خَــرَجٍ ( الحج )
Artinya :
“ Dan dia tidak menjadikan untuk
kamu kepicikian dalam agama” (Q.S.al-Hajj 78)
اَلدِّيْـــنُ يُــــسْـــرٌ
Artinya
:
Agama itu mudah (HR.Bukhari)
Dengan bersandar
kepada ayat dan hadits ini para ulama menetapkankaidah kuliyah yang tersebut
ini.
Dimaksudkan
dengan mudah ialah :"
memberikelapangan,
disebabkankesukaran sebagai pengecualian dari kaidah "umum".
Dan kesukaran di
sini meliputi keadaan yang mernaksa dan keadaan yangmemerlukan.
Ringkasnya, kaidah
ini bermakna, kesukaran
menjadi sebab bagimemudahkan, dan memberi keleluasaan di
waktu sempit.
Sesuai dengan
kaidah ini, ialah kaidah :
اَلأُمُـــوْرُ
اِذَا ضَاقَ اِتَّـــسَـعَ
Artinya :
Segala urusan, apabila telah sempi:.menjadi luas "
C. Kaidah Ketiga
Kaidah
ketiga
اَلضَّــرَارُ
يُــزَالُ
Artinya :
"Kemelaratan itu harus dihilangkan"
Dasar kaidah
ini, ialah hadits :
لاَضَرَرَ وَلاَضَرَارَ
Tak
boleh memelaratkan orang lain dan tak boleh dimudaratkan (H R ibnuMajah)
Kaidahadalah suatu kaidah
pokok. Kepadanya kembali sebagian besar masalah-masalah fiqh dan daripadanya
diistinbatkan berbagai -bagai
Diantaranya : tak sah
wakaf bagi anak-anak lelaki saja tanpa memberi kepada anak -anak perempuan dan
haram memberi wakaf jika dimaksud untuk
memelaratkan ( menghilangkan hak para pemberi hutang ( debitur). Dari
kaidah ini pula
para ulama mengambil hukumsyu'fah untuk para tetangga dan menetapkan hukum qishash.
Dipautkan dengan kaidah ini,.kaidah :
اَلضَّـــرُوْرَتَ
تُـبِـيْـحُ الْمَحْـظُوْرَاتُ
“Segala
keadaan yang memaksa menghalalkan segala yang haram”
Kata Al Ghazali
:
جَمِيْـعُ
الْمُحَـرَّمَـاتِ تُـبَـاحُ بِا الضَّـرُوْرَةِ
Artinya :
“Segala
yang diharamkan dibolehkan lantaran darurat “5
mengingat kaidah inilah diberi kemudahan
lantaran kesukaran dan umum bahwa Maka apabila seseorang yang berhutang tak
sanggup membayar hutang, bolehlah mengangsur. Hal ini sesuai pula dengan firman
Allah SWT
وَاِنْ كَانَ ذُوْ
عُسْـرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلَى مَيْـسَرَةٍ
Dan
jika ia mempunyai kesukaran, maka hendaklah ditangguhkan sehingga ia mendapat
kelapangan ". (S.2 : Al Baqarah :286j
Inilah sebabnya
dibolehkan kita minum arak apabila tidak ada obat lain untuk menghilangkan
sesuatu benda yang tersangkut dikerongkongan. Berdasar kepada kaidah
ini pula dibolehkan
kita melakukan beberapa muamalah lantaran diperlukan oleh
manusia dalam penghidupannya sehari-hari.
D. Kaidah Keempat
Kaidah
yang keempat.
اَلْيَـقِــيْـنُ لاَيُـزَالُ بِاالشَّـكِ
"Keyakinan
itu tidak dapat dihilangkan kekuatannya oleh syak yang mendatangi".
Kaidah ini didasarkan kepada
hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari
Muslim dan AbdttiiahJ.bn Zaid. ujarnya :
شُـكِيَ اِلَى رَسُـوْلِ
اللهِ صلى الله عَـليْه وسلّم الرَّجُـلُ يُحَيَّلُ اَنَّهُ يَجِدُ الشَّئَ فِى
الصَّلآَةِ قَالَ لاَيَنْـصَـرِفُ حَتَّى يَسْمَعُ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْـحًا
"Dikemukakan kepada
Rasuiullah tentang keadaan seorang lelaki yang selalu merasa telah berhadas
didalam sembayangnya.Nabi bersabda janganlah orang itu keluar dan sembahyangnya
hingga ia mendengar suara kentutnya atau menciumbaunya".
Kerapkali kaidah ini
dipergunakan ulama didalam berbagai bagai masalahfiqh.Hampir 314 -masalah fiqh
dirujuk kepada kaidah ini.
Semakna dengan
kaidah ini, kaidah-kaidah yang dikemukakan Al Qarafi
dalam A!-Furuq:
كُلُّ مَشْكُوْكٍ
فِيْهِ يَجْـعَـلُ كَا الْمـعْدُوْمِ الَّذِي يُجْزَمُ بِعَدَمِهِ
"Segata
yang diragukan diuandang sebagai barang yang tidak ada yang dipastikan
ketiadaannya "
E. Kaidah Kelima
Kaidah
yang kelima
اَلْعَـادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya :
Adat itu meniadi hakim
Kaidah
ini seimbang dengan kaidah :
اَلْمَعْرُوْفُ
عُرْفًا كَاالْمَسْـرُوْطِ شَرْعًا
Artinya :
"Sesuatu maruf yang
telah ditetapkan oleh
'urf sama dengan yang disyaratkan oleh syara".
Kaidah
ini telah banyak dipergunakan dalam menetapkan hukum. Dalam kitab RaddulMuhtar,
IbnuAbidlnberkata :
"Adat
adalah salah satu dari hujjah saya' dalam ha-hal yang tidak adanash."
Al
Qarafiberkata :
Bahwasanya
segala hukum itu berlaku menurut 'urf dan adat". Ahli fiqh hendaklah
berpindah dari suatu pendiriannya sesuai dengan perpindahan adat Di antara
kebodohan mufti ialah : bersikap jumud (beku) terhadap nash-nash yang terdapat
dalam kitab-kitabnya, tanpa memperdulikan perubahan adat".
'Urf
dan adat menjadi dasar hukum adalah apabila :
a.
Tidak berlawanan dengan sesuatu nash yang tegas.
b.
Apabila adat itu terus menerus dilakukan.
c.
Apabila 'urf itu umum.
Karenanya tak dapat hukum umum ditetapkan dengan 'urfkhusus.Perhatikannukum-hukum
yang didasarkan kepada 'urfyaitu :
1.
Hakim tak boleh menerima sesuatu hadiah terkecuali dari orang yang
telah biasa memberikan hadiah kepadanya dan tidak lebih dari hadiah yang biasa
diberikan.
2.
Menyuruh membuat sesuatu yang dibatasi harganya,
seperti dikatakan : buatlah sebuah meja, yang harganya Rp. 5.000,- serta
disifatkan mejaitu
Abu Hanifah membolehkan hal ini berdasarkan kepada 'urf padahal nash
tidak membolehkan menjual apa yang tidak dimiliki.
Masalah
'urf in iadalah masalah yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para ahli
hukum Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar