Fiqhi



QAWAIDUL KHAMS(Lima Qaidah Dasar Fiqhi)

Lima kaidah kulliyah
Sebagian ulama lelah mengembalikan segala kaidah   fighiyah kepada   lima kaidah yang mereka pandang sebagai dasar dan sendi segala hukum fiqh. ShalubulMajami mengembalikan segala .kaidah fiqh kepada empat, selain dari kadiah pertama yang akan kami uraikan .
Dalam pada itu, Sultanul ulama IzzuddinIbnuAbdis Salam mengembalikan seluruh kaidah fiqhiyah kepada satu kaidah saja yaitu :
اِعْــتِـبَـارُ الْـمَـصَــالِـحِ وَدَرْءُ الْـمَـفَــاسِـدِ
Artinya :
Menarik Kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Mengembalikan segala hukum fiqh kepada lima kaidah pokok    kita terima  secaraijmal,  tetapi apabila  kita  kehendaki secara tafshil.     rnaka hukum-hukum fiqh itu kembali kepada beratus-rgtus kaidah 1
Dalam kitab ini saya kemukakan kaidah-kaicfeh   yang pokok itu saja yaitu : lima kaidah yang menjadi dasar bagi kaidah-kaldah yang lain.
A.    Kaidah Pertama :
اَلأْمُــوْرُ بِمــقَـاصِـدِهَــا
"Segala urusan-urusan itu menurut maksud-maksud yang diniatkan oleh pembuatnya".
Segala amal manusia terbit dari iradatnya, yakni dari ikhtiyarnya.iradat ituberhajat kepadapekerjaan untuk sesuatu tujuan    yang dimaksud, yangdinamakan kasad atau niat. Maka makna kasad atau niat, ialah : kehendakyang   berhadap  kepada  pekerjaan,   atau  menghadapkaniradat  kepadasesuatu pekerjaan. Umpamanya, apabila seorang membidikkanpistolnyakepada seseorang dengan maksud menembaknya dan orang itupun kena,maka yang membidik itu berkehendak membidik dan bermaksud supaya kena.
Martabat kasad, terbagi lima :
a.       Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang mula-mula tumbuh.
b.      Gurisan hati, yang menimbulkan maksud.
c.       Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang sama kuat antara mengerjakan dan tidak.
d.      Gurisan hati, yang menguatkan maksud mengerjakan, dan
e.       Gurisan hati yang menetapkan serta mengokohkan hati untuk mengerjakannya.
Martabat yang lima ini dinamakan dengan : hajis - khatir -haditsunnafsi- ham dan azam.
Hajis dan khathir tidak masuk dalam ikhtiar, karena itu tidakdisalahkanseseorang apabila timbul hajis dan khathir dalam hatinya. Juga tidak disalahkan kita apabila timbul haditsunnafsi, mengingat yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, bahwa Nabi bersabda :
عُـفِيَ عَـنْ اُمَّـتِيْ مَـاحَـدَّثَـــتْ بِــــهِ النُّـــفُوْسُـــهَـــا
Artinya :
"Dimaafkanummatku tentang apa yang dibisikkan oleh jiwanya atau tentang gurisan-gurisan jiwanya".
Juga ham tidak mengakibatkan kesalahan, mengingat hadits:
اِنَّ الْـهَــمَّ بِـــاالْـحَـسَـنَـهِ يُـكْــتَــبُ حَـسَــنَــهً وَالْـهَــمَّ بِـاالسَّـيِــــئــــهِ لاَ يُـكْـتَـبُ سَـيِّــئــــــهً
Artinya :
Bahwasa/iya ingin mengerjakan kebajikan ditulis suatu kebajikan, tetapi ingin mengerjakan kejahatan tidak ditulis sebagai suatu kejahatan 3.
Demikianlah   martabat   kasad   mengenai    maksiat.   Adapun    mengenai
muamalah, tidak mempunyai bekas apa-apa selama belum lagi dipraktekkan
ke alam sujud.
Perbuatan   itu sendiri, hukumnya kembli kepada yang dimaksudkan . Di dalam suatu hadits Nabi Saw, bersabda :
اِنَّــمَـاالأْعْــمَــالُ بِــاالنِّــيَـــهِ وَاِنَّـــمَــا لِكُــلِّ أِمْــــرِئٍ مَــانَــوَى (روه الْجَمَــاعَــةَ عَــنْ عُـمَـر)
Artinya :
Hanya sanya segala amal itu menurut mat, dan hanyasanya bagi segala manusia apa yang diniatkan ". (H.R. Ai. Al Jama'ah dari Umar).
Oleh karena inilah segala perbuatan dipautkan dengan maksud.Maka kesimpuan makna kaidah yang tersebut ini, ialah : "Segala hukummengenai sesuatu pekerjaan menurut yang diniatkan dari pekerjaan itu".
Maka kesimpulan makna kaidah yangtersebut ini, ialah : "Segala hukum mengenai sesuatu pekerjaan. acialah menurut yang diniatkan dari pekerjaan itu ".

menurut niat, jika mat itu mungkin diketahui. Karena itu apabila berlainan makna pembicaraan dari lafadnya.Diambillahmakna bukan lafad. Atas dasar inilah timbul kaidah :
اَلْـعِـبْـرَةُ فِى الْعُــقُــوْدِ لِلْــمَــقَــاصِــدِ وَالْــمَــعَـــانِى لاَلِلأَلْــفَـــاظِ وَالْــمَـــعَـــانِى
Artinya :
"Yang dipegangi dalam soai akad, lalah maksud dan makna, bukan lafad perkataan"..

Apabila   dua   orang   mengadakan   suatu   akad   dengan   lafad   member!pinjaman, dengan mensyaratkan adanya upah maka akad itu dipandangakad   sewa   menvewa,    karena itulah yang ditunjuki oleh makna, bukanakad pinjam meminjam yang dikehendakilafad.,'
Demikianlah kita lakukan apabila tidak bergantung dengan hak orang lain.Apabila bergantung dengan hak orang lain, maka yang diamalkan dhahirlafad, untuk menolak kesukaran bagi manusia.
Lantaran itu apabila berbeda lafad dengan niat.orang yang melafadkan itudan bergantung    lafad itu denganhakorang, dipegangilahlafad. Umpamanyabila penggugat meminta di hadapan hakim supaya lawannya itu bersumpah, maka sumpah yang diucapkan oleh orang itu di dasarkan atas lafadnya yang lahir.yaki hakim dan orang yang menuntut,sumpah. bukan atas niat yang bersumpah. Mengingat hadits Nabi pula :
اَلْـيَــمِـيْـنُ عَلىَ نِـيَّــــةِ الْـمُــسْـتَــحْلِفِ (رواه مُسْلم)
"Sumpah itu menurut niat orang yang menvuruh bersumpah" (H R Muslim)
Hanya perlu ditegaskan bahwa kita berpegang kepada niat adalah jika niat itu dapat diketahui Jika terjadi perbedaan antara niat dengan yang dhahir dan, sukar mengetahui apa yang diniatkan, maka hendaklah dipegang yang dhahir. Hal ini telah ditegaskan oleh suatu hadits yang diriwayatkan dengan makna :
نَحْـــنُ نَحْـكُــمُ بِاالظَّـاهِـــرِ وَاللَّــــهُ يَـتَـوَلَّى السَّـــرَائــــِــرُ
Artinya :
" Kamihukumkan menurut dhahir dan Allahlah yang mengendalikan segala rahasia makhluk".
B.     Kaidah Kedua
Kaidah Kedua
اَلْمَشَـقَّــةُ تَجْــــلِــبُ التَّـيْــسِيْـرَ
Artinya:
"Kesukaran itu, mendatangkan kemudahan
Segala hukum syara' adalah umum. Tidak  melihat   kepada  sesuatukeadaan atau kepada perseorangan.  Hukum - hukum itu melihat kepadasegala keadaan dan kepada segala anggota masyarakat.
Akan tetapi, sifat hukum yang demikian ini menimbulkan kesukaran padasewaktu  atas  sebagian  manusia dan  menimbulkankemudharatan   :  olehkarena itu, agama memberi kelapangan pada sewaktu, ketika perlu untukmenolak kesukaran.
Allah SWT, betfirman :
وَمَـا جَـعَـلَ عَـلَـيْـكُـمْ فِى الدِّيْـنِ مِنْ خَــرَجٍ ( الحج    )
Artinya :
            “ Dan dia tidak menjadikan untuk kamu kepicikian dalam agama” (Q.S.al-Hajj 78)
اَلدِّيْـــنُ يُــــسْـــرٌ
Artinya :
Agama itu mudah (HR.Bukhari)
Dengan bersandar kepada ayat dan hadits ini para ulama menetapkankaidah kuliyah yang tersebut ini.
Dimaksudkan dengan mudah ialah :" memberikelapangan, disebabkankesukaran sebagai pengecualian dari kaidah "umum".
Dan kesukaran di sini meliputi keadaan yang mernaksa dan keadaan yangmemerlukan.
Ringkasnya,    kaidah   ini   bermakna,   kesukaran   menjadi   sebab   bagimemudahkan, dan memberi keleluasaan di waktu sempit.
Sesuai dengan kaidah ini, ialah kaidah :
اَلأُمُـــوْرُ اِذَا ضَاقَ اِتَّـــسَـعَ
Artinya :
Segala urusan, apabila telah sempi:.menjadi luas "

C.    Kaidah Ketiga
Kaidah ketiga
اَلضَّــرَارُ يُــزَالُ
Artinya :
"Kemelaratan itu harus dihilangkan"
Dasar kaidah ini, ialah hadits :
لاَضَرَرَ وَلاَضَرَارَ
Tak boleh memelaratkan orang lain dan tak boleh dimudaratkan (H R ibnuMajah)
Kaidahadalah suatu kaidah pokok. Kepadanya kembali sebagian besar masalah-masalah fiqh dan daripadanya diistinbatkan berbagai -bagai
Diantaranya : tak sah wakaf bagi anak-anak lelaki saja tanpa memberi kepada anak -anak perempuan dan haram memberi wakaf  jika dimaksud untuk memelaratkan ( menghilangkan hak para pemberi hutang ( debitur). Dari  kaidah  ini  pula  para  ulama  mengambil  hukumsyu'fah untuk  para tetangga dan menetapkan hukum qishash. Dipautkan dengan kaidah ini,.kaidah :
اَلضَّـــرُوْرَتَ تُـبِـيْـحُ الْمَحْـظُوْرَاتُ

                     Segala keadaan yang memaksa menghalalkan segala yang haram      
Kata Al Ghazali :
جَمِيْـعُ الْمُحَـرَّمَـاتِ تُـبَـاحُ بِا الضَّـرُوْرَةِ
Artinya :
              Segala yang diharamkan dibolehkan lantaran darurat “5
mengingat kaidah inilah diberi kemudahan lantaran kesukaran dan umum bahwa Maka apabila seseorang yang berhutang tak sanggup membayar hutang, bolehlah mengangsur. Hal ini sesuai pula dengan firman Allah SWT
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْـرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلَى مَيْـسَرَةٍ
Dan jika ia mempunyai kesukaran, maka hendaklah ditangguhkan sehingga ia mendapat kelapangan ". (S.2 : Al Baqarah :286j

Inilah sebabnya dibolehkan kita minum arak apabila tidak ada obat lain untuk menghilangkan sesuatu benda yang tersangkut dikerongkongan. Berdasar kepada  kaidah  ini  pula  dibolehkan  kita  melakukan  beberapa muamalah lantaran diperlukan oleh manusia dalam penghidupannya sehari-hari.
D.    Kaidah Keempat
Kaidah yang keempat.
اَلْيَـقِــيْـنُ لاَيُـزَالُ بِاالشَّـكِ
"Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan kekuatannya oleh syak yang mendatangi".
Kaidah ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Al  Bukhari Muslim dan AbdttiiahJ.bn Zaid. ujarnya :
شُـكِيَ اِلَى رَسُـوْلِ اللهِ صلى الله عَـليْه وسلّم الرَّجُـلُ يُحَيَّلُ اَنَّهُ يَجِدُ الشَّئَ فِى الصَّلآَةِ قَالَ لاَيَنْـصَـرِفُ حَتَّى يَسْمَعُ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْـحًا
"Dikemukakan kepada Rasuiullah tentang keadaan seorang lelaki yang selalu merasa telah berhadas didalam sembayangnya.Nabi bersabda janganlah orang itu keluar dan sembahyangnya hingga ia mendengar suara kentutnya atau menciumbaunya".

Kerapkali kaidah ini dipergunakan ulama didalam berbagai bagai masalahfiqh.Hampir 314 -masalah fiqh dirujuk kepada kaidah ini.
Semakna dengan kaidah ini, kaidah-kaidah yang dikemukakan Al Qarafi
dalam A!-Furuq:
كُلُّ مَشْكُوْكٍ فِيْهِ يَجْـعَـلُ كَا الْمـعْدُوْمِ الَّذِي يُجْزَمُ بِعَدَمِهِ
"Segata yang diragukan diuandang sebagai barang yang tidak ada yang dipastikan ketiadaannya "
E.     Kaidah Kelima
Kaidah yang kelima
اَلْعَـادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya :
Adat itu meniadi hakim
Kaidah ini seimbang dengan kaidah :
اَلْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَاالْمَسْـرُوْطِ شَرْعًا
Artinya :
"Sesuatu   maruf yang   telah   ditetapkan   oleh   'urf sama   dengan  yang disyaratkan oleh syara".
Kaidah ini telah banyak dipergunakan dalam menetapkan hukum. Dalam kitab RaddulMuhtar, IbnuAbidlnberkata :
"Adat adalah salah satu dari hujjah saya' dalam ha-hal yang tidak adanash."
Al Qarafiberkata :
Bahwasanya segala hukum itu berlaku menurut 'urf dan adat". Ahli fiqh hendaklah berpindah dari suatu pendiriannya sesuai dengan perpindahan adat Di antara kebodohan mufti ialah : bersikap jumud (beku) terhadap nash-nash yang terdapat dalam kitab-kitabnya, tanpa memperdulikan perubahan adat".
'Urf dan adat menjadi dasar hukum adalah apabila :
a.       Tidak berlawanan dengan sesuatu nash yang tegas.
b.      Apabila adat itu terus menerus dilakukan.
c.       Apabila 'urf itu umum.
Karenanya tak dapat hukum umum ditetapkan dengan 'urfkhusus.Perhatikannukum-hukum yang didasarkan kepada 'urfyaitu :
1.      Hakim tak boleh menerima sesuatu hadiah terkecuali dari orang yang telah biasa memberikan hadiah kepadanya dan tidak lebih dari hadiah yang biasa diberikan.
2.      Menyuruh membuat sesuatu yang dibatasi harganya, seperti dikatakan : buatlah sebuah meja, yang harganya Rp. 5.000,- serta disifatkan mejaitu
Abu Hanifah membolehkan hal ini berdasarkan kepada 'urf padahal nash tidak membolehkan menjual apa yang tidak dimiliki.
Masalah 'urf in iadalah masalah yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para ahli hukum Islam

QAWAIDUL KHAMS

Lima kaidah kulliyah
Sebagian ulama lelah mengembalikan segala kaidah   fighiyah kepada   lima kaidah yang mereka pandang sebagai dasar dan sendi segala hukum fiqh. ShalubulMajami mengembalikan segala .kaidah fiqh kepada empat, selain dari kadiah pertama yang akan kami uraikan .
Dalam pada itu, Sultanul ulama IzzuddinIbnuAbdis Salam mengembalikan seluruh kaidah fiqhiyah kepada satu kaidah saja yaitu :
اِعْــتِـبَـارُ الْـمَـصَــالِـحِ وَدَرْءُ الْـمَـفَــاسِـدِ
Artinya :
Menarik Kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Mengembalikan segala hukum fiqh kepada lima kaidah pokok    kita terima  secaraijmal,  tetapi apabila  kita  kehendaki secara tafshil.     rnaka hukum-hukum fiqh itu kembali kepada beratus-rgtus kaidah 1
Dalam kitab ini saya kemukakan kaidah-kaicfeh   yang pokok itu saja yaitu : lima kaidah yang menjadi dasar bagi kaidah-kaldah yang lain.
A.    Kaidah Pertama :
اَلأْمُــوْرُ بِمــقَـاصِـدِهَــا
"Segala urusan-urusan itu menurut maksud-maksud yang diniatkan oleh pembuatnya".
Segala amal manusia terbit dari iradatnya, yakni dari ikhtiyarnya.iradat ituberhajat kepadapekerjaan untuk sesuatu tujuan    yang dimaksud, yangdinamakan kasad atau niat. Maka makna kasad atau niat, ialah : kehendakyang   berhadap  kepada  pekerjaan,   atau  menghadapkaniradat  kepadasesuatu pekerjaan. Umpamanya, apabila seorang membidikkanpistolnyakepada seseorang dengan maksud menembaknya dan orang itupun kena,maka yang membidik itu berkehendak membidik dan bermaksud supaya kena.
Martabat kasad, terbagi lima :
a.       Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang mula-mula tumbuh.
b.      Gurisan hati, yang menimbulkan maksud.
c.       Gurisan hati, yang merupakan pikiran yang sama kuat antara mengerjakan dan tidak.
d.      Gurisan hati, yang menguatkan maksud mengerjakan, dan
e.       Gurisan hati yang menetapkan serta mengokohkan hati untuk mengerjakannya.
Martabat yang lima ini dinamakan dengan : hajis - khatir -haditsunnafsi- ham dan azam.
Hajis dan khathir tidak masuk dalam ikhtiar, karena itu tidakdisalahkanseseorang apabila timbul hajis dan khathir dalam hatinya. Juga tidak disalahkan kita apabila timbul haditsunnafsi, mengingat yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, bahwa Nabi bersabda :
عُـفِيَ عَـنْ اُمَّـتِيْ مَـاحَـدَّثَـــتْ بِــــهِ النُّـــفُوْسُـــهَـــا
Artinya :
"Dimaafkanummatku tentang apa yang dibisikkan oleh jiwanya atau tentang gurisan-gurisan jiwanya".
Juga ham tidak mengakibatkan kesalahan, mengingat hadits:
اِنَّ الْـهَــمَّ بِـــاالْـحَـسَـنَـهِ يُـكْــتَــبُ حَـسَــنَــهً وَالْـهَــمَّ بِـاالسَّـيِــــئــــهِ لاَ يُـكْـتَـبُ سَـيِّــئــــــهً
Artinya :
Bahwasa/iya ingin mengerjakan kebajikan ditulis suatu kebajikan, tetapi ingin mengerjakan kejahatan tidak ditulis sebagai suatu kejahatan 3.
Demikianlah   martabat   kasad   mengenai    maksiat.   Adapun    mengenai
muamalah, tidak mempunyai bekas apa-apa selama belum lagi dipraktekkan
ke alam sujud.
Perbuatan   itu sendiri, hukumnya kembli kepada yang dimaksudkan . Di dalam suatu hadits Nabi Saw, bersabda :
اِنَّــمَـاالأْعْــمَــالُ بِــاالنِّــيَـــهِ وَاِنَّـــمَــا لِكُــلِّ أِمْــــرِئٍ مَــانَــوَى (روه الْجَمَــاعَــةَ عَــنْ عُـمَـر)
Artinya :
Hanya sanya segala amal itu menurut mat, dan hanyasanya bagi segala manusia apa yang diniatkan ". (H.R. Ai. Al Jama'ah dari Umar).
Oleh karena inilah segala perbuatan dipautkan dengan maksud.Maka kesimpuan makna kaidah yang tersebut ini, ialah : "Segala hukummengenai sesuatu pekerjaan menurut yang diniatkan dari pekerjaan itu".
Maka kesimpulan makna kaidah yangtersebut ini, ialah : "Segala hukum mengenai sesuatu pekerjaan. acialah menurut yang diniatkan dari pekerjaan itu ".

menurut niat, jika mat itu mungkin diketahui. Karena itu apabila berlainan makna pembicaraan dari lafadnya.Diambillahmakna bukan lafad. Atas dasar inilah timbul kaidah :
اَلْـعِـبْـرَةُ فِى الْعُــقُــوْدِ لِلْــمَــقَــاصِــدِ وَالْــمَــعَـــانِى لاَلِلأَلْــفَـــاظِ وَالْــمَـــعَـــانِى
Artinya :
"Yang dipegangi dalam soai akad, lalah maksud dan makna, bukan lafad perkataan"..

Apabila   dua   orang   mengadakan   suatu   akad   dengan   lafad   member!pinjaman, dengan mensyaratkan adanya upah maka akad itu dipandangakad   sewa   menvewa,    karena itulah yang ditunjuki oleh makna, bukanakad pinjam meminjam yang dikehendakilafad.,'
Demikianlah kita lakukan apabila tidak bergantung dengan hak orang lain.Apabila bergantung dengan hak orang lain, maka yang diamalkan dhahirlafad, untuk menolak kesukaran bagi manusia.
Lantaran itu apabila berbeda lafad dengan niat.orang yang melafadkan itudan bergantung    lafad itu denganhakorang, dipegangilahlafad. Umpamanyabila penggugat meminta di hadapan hakim supaya lawannya itu bersumpah, maka sumpah yang diucapkan oleh orang itu di dasarkan atas lafadnya yang lahir.yaki hakim dan orang yang menuntut,sumpah. bukan atas niat yang bersumpah. Mengingat hadits Nabi pula :
اَلْـيَــمِـيْـنُ عَلىَ نِـيَّــــةِ الْـمُــسْـتَــحْلِفِ (رواه مُسْلم)
"Sumpah itu menurut niat orang yang menvuruh bersumpah" (H R Muslim)
Hanya perlu ditegaskan bahwa kita berpegang kepada niat adalah jika niat itu dapat diketahui Jika terjadi perbedaan antara niat dengan yang dhahir dan, sukar mengetahui apa yang diniatkan, maka hendaklah dipegang yang dhahir. Hal ini telah ditegaskan oleh suatu hadits yang diriwayatkan dengan makna :
نَحْـــنُ نَحْـكُــمُ بِاالظَّـاهِـــرِ وَاللَّــــهُ يَـتَـوَلَّى السَّـــرَائــــِــرُ
Artinya :
" Kamihukumkan menurut dhahir dan Allahlah yang mengendalikan segala rahasia makhluk".
B.     Kaidah Kedua
Kaidah Kedua
اَلْمَشَـقَّــةُ تَجْــــلِــبُ التَّـيْــسِيْـرَ
Artinya:
"Kesukaran itu, mendatangkan kemudahan
Segala hukum syara' adalah umum. Tidak  melihat   kepada  sesuatukeadaan atau kepada perseorangan.  Hukum - hukum itu melihat kepadasegala keadaan dan kepada segala anggota masyarakat.
Akan tetapi, sifat hukum yang demikian ini menimbulkan kesukaran padasewaktu  atas  sebagian  manusia dan  menimbulkankemudharatan   :  olehkarena itu, agama memberi kelapangan pada sewaktu, ketika perlu untukmenolak kesukaran.
Allah SWT, betfirman :
وَمَـا جَـعَـلَ عَـلَـيْـكُـمْ فِى الدِّيْـنِ مِنْ خَــرَجٍ ( الحج    )
Artinya :
            “ Dan dia tidak menjadikan untuk kamu kepicikian dalam agama” (Q.S.al-Hajj 78)
اَلدِّيْـــنُ يُــــسْـــرٌ
Artinya :
Agama itu mudah (HR.Bukhari)
Dengan bersandar kepada ayat dan hadits ini para ulama menetapkankaidah kuliyah yang tersebut ini.
Dimaksudkan dengan mudah ialah :" memberikelapangan, disebabkankesukaran sebagai pengecualian dari kaidah "umum".
Dan kesukaran di sini meliputi keadaan yang mernaksa dan keadaan yangmemerlukan.
Ringkasnya,    kaidah   ini   bermakna,   kesukaran   menjadi   sebab   bagimemudahkan, dan memberi keleluasaan di waktu sempit.
Sesuai dengan kaidah ini, ialah kaidah :
اَلأُمُـــوْرُ اِذَا ضَاقَ اِتَّـــسَـعَ
Artinya :
Segala urusan, apabila telah sempi:.menjadi luas "

C.    Kaidah Ketiga
Kaidah ketiga
اَلضَّــرَارُ يُــزَالُ
Artinya :
"Kemelaratan itu harus dihilangkan"
Dasar kaidah ini, ialah hadits :
لاَضَرَرَ وَلاَضَرَارَ
Tak boleh memelaratkan orang lain dan tak boleh dimudaratkan (H R ibnuMajah)
Kaidahadalah suatu kaidah pokok. Kepadanya kembali sebagian besar masalah-masalah fiqh dan daripadanya diistinbatkan berbagai -bagai
Diantaranya : tak sah wakaf bagi anak-anak lelaki saja tanpa memberi kepada anak -anak perempuan dan haram memberi wakaf  jika dimaksud untuk memelaratkan ( menghilangkan hak para pemberi hutang ( debitur). Dari  kaidah  ini  pula  para  ulama  mengambil  hukumsyu'fah untuk  para tetangga dan menetapkan hukum qishash. Dipautkan dengan kaidah ini,.kaidah :
اَلضَّـــرُوْرَتَ تُـبِـيْـحُ الْمَحْـظُوْرَاتُ

                     Segala keadaan yang memaksa menghalalkan segala yang haram      
Kata Al Ghazali :
جَمِيْـعُ الْمُحَـرَّمَـاتِ تُـبَـاحُ بِا الضَّـرُوْرَةِ
Artinya :
              Segala yang diharamkan dibolehkan lantaran darurat “5
mengingat kaidah inilah diberi kemudahan lantaran kesukaran dan umum bahwa Maka apabila seseorang yang berhutang tak sanggup membayar hutang, bolehlah mengangsur. Hal ini sesuai pula dengan firman Allah SWT
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْـرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلَى مَيْـسَرَةٍ
Dan jika ia mempunyai kesukaran, maka hendaklah ditangguhkan sehingga ia mendapat kelapangan ". (S.2 : Al Baqarah :286j

Inilah sebabnya dibolehkan kita minum arak apabila tidak ada obat lain untuk menghilangkan sesuatu benda yang tersangkut dikerongkongan. Berdasar kepada  kaidah  ini  pula  dibolehkan  kita  melakukan  beberapa muamalah lantaran diperlukan oleh manusia dalam penghidupannya sehari-hari.
D.    Kaidah Keempat
Kaidah yang keempat.
اَلْيَـقِــيْـنُ لاَيُـزَالُ بِاالشَّـكِ
"Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan kekuatannya oleh syak yang mendatangi".
Kaidah ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Al  Bukhari Muslim dan AbdttiiahJ.bn Zaid. ujarnya :
شُـكِيَ اِلَى رَسُـوْلِ اللهِ صلى الله عَـليْه وسلّم الرَّجُـلُ يُحَيَّلُ اَنَّهُ يَجِدُ الشَّئَ فِى الصَّلآَةِ قَالَ لاَيَنْـصَـرِفُ حَتَّى يَسْمَعُ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْـحًا
"Dikemukakan kepada Rasuiullah tentang keadaan seorang lelaki yang selalu merasa telah berhadas didalam sembayangnya.Nabi bersabda janganlah orang itu keluar dan sembahyangnya hingga ia mendengar suara kentutnya atau menciumbaunya".

Kerapkali kaidah ini dipergunakan ulama didalam berbagai bagai masalahfiqh.Hampir 314 -masalah fiqh dirujuk kepada kaidah ini.
Semakna dengan kaidah ini, kaidah-kaidah yang dikemukakan Al Qarafi
dalam A!-Furuq:
كُلُّ مَشْكُوْكٍ فِيْهِ يَجْـعَـلُ كَا الْمـعْدُوْمِ الَّذِي يُجْزَمُ بِعَدَمِهِ
"Segata yang diragukan diuandang sebagai barang yang tidak ada yang dipastikan ketiadaannya "
E.     Kaidah Kelima
Kaidah yang kelima
اَلْعَـادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya :
Adat itu meniadi hakim
Kaidah ini seimbang dengan kaidah :
اَلْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَاالْمَسْـرُوْطِ شَرْعًا
Artinya :
"Sesuatu   maruf yang   telah   ditetapkan   oleh   'urf sama   dengan  yang disyaratkan oleh syara".
Kaidah ini telah banyak dipergunakan dalam menetapkan hukum. Dalam kitab RaddulMuhtar, IbnuAbidlnberkata :
"Adat adalah salah satu dari hujjah saya' dalam ha-hal yang tidak adanash."
Al Qarafiberkata :
Bahwasanya segala hukum itu berlaku menurut 'urf dan adat". Ahli fiqh hendaklah berpindah dari suatu pendiriannya sesuai dengan perpindahan adat Di antara kebodohan mufti ialah : bersikap jumud (beku) terhadap nash-nash yang terdapat dalam kitab-kitabnya, tanpa memperdulikan perubahan adat".
'Urf dan adat menjadi dasar hukum adalah apabila :
a.       Tidak berlawanan dengan sesuatu nash yang tegas.
b.      Apabila adat itu terus menerus dilakukan.
c.       Apabila 'urf itu umum.
Karenanya tak dapat hukum umum ditetapkan dengan 'urfkhusus.Perhatikannukum-hukum yang didasarkan kepada 'urfyaitu :
1.      Hakim tak boleh menerima sesuatu hadiah terkecuali dari orang yang telah biasa memberikan hadiah kepadanya dan tidak lebih dari hadiah yang biasa diberikan.
2.      Menyuruh membuat sesuatu yang dibatasi harganya, seperti dikatakan : buatlah sebuah meja, yang harganya Rp. 5.000,- serta disifatkan mejaitu
Abu Hanifah membolehkan hal ini berdasarkan kepada 'urf padahal nash tidak membolehkan menjual apa yang tidak dimiliki.
Masalah 'urf in iadalah masalah yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para ahli hukum Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar